Kamis, 26 Mei 2011

TENANGLAH WAHAI JIWA

Tenanglah hatiku, karena langit tak pun mendengari.
Tenanglah, karena bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, karena roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahasiamu,
dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.

Tenanglah, hatiku.
Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan.
Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.

Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.
Dalam mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.

Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi.
Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku,
kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang.
Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.

Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?

Mengapa keindahan mimpi lenyap,
dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang?
Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

Dengarlah hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kokoh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.

Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas.
Pada musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan.
Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta meneruskan perjalanan mereka.

Kala musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.
Kuambilnya dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.

Aku berbicara dalam hati, ”Bencana bagiku, karena telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.”
Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?”
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur.
Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu.
Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata, ”Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang.”
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata, ”Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan.”
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar